Selasa, 20 Oktober 2015

Kepolisian, Satu-Satunya Kesatuan Bersenjata di Awal Kemerdekaan

“Omong kosong kalau ada yang mengaku di bulan Agustus 1945 memiliki kesatuan bersenjata. Yang ada pada waktu itu hanya pasukan-pasukan Polisi Istimewa pimpinan M. JASIN, bahkan ia menyatakan bahwa tanpa peran pasukan pasukan Polisi Istimewa dibawah pimpinan M. JASIN tidak akan ada peristiwa 10 Nopember 1945.” 

Demikian ungkapan tegas Jenderal TNI AD SUDARTO ex. TRIP dan pelaku 10 Nop 1945. Ungkapan tersebut dikeluarkan karena pada awal Agustus 1945 hanya Polisilah organisasi yang relatif lengkap dan terorganisir serta satu-satunya kesatuan yang masih memegang senjata pada masa itu.

Karena kesatuan bersenjata pada awal kemerdekaan masih belum terbentuk maka Polisi diberikan tugas untuk menjaga keamanan Republik Indonesia yang baru lahir ini. Untuk mengukuhkan kedudukan Kepolisian di Indonesia tersebut, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945, memasukkan Kepolisian dalam lingkungan Departemen Dalam negeri yang diberi nama Djawatan Kepolisian Negara (DKN).

Karena keberadaan organisasi Polisi telah ada di awal kemerdekaan Indonesia sedangkan kesatuan bersenjata lainnya belum terbentuk maka pelak saja membuat DR. H. Ruslan Abdulgani eX TRIP mengatakan bahwa "Pasukan Polisi Istimewa lahir lebih dulu dari yang lain".
 
Kepolisian yang menjadi satu-satunya kesatuan yang memiliki senjata di awal kemerdekaan Indonesia bukanlah tanpa sebab. Hal ini karena setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, penguasa Jepang di Indonesia membubarkan tentara PETA dan Heiho, sedangkan senjata mereka dilucuti. 

Hal ini dilakukan Jepang karena setelah kalah perang, tentara Jepang di Indonesia mendapat perintah dari Sekutu untuk menjaga satusquo sampai kedatangan Sekutu di Indonesia. 

Pelucutan senjata PETA oleh Jepang sangat disayangkan oleh Soetamo (Bung Tomo), pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang juga salah satu pejuang terkemuka dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, yang menyatakan :

“PETA diharapkan dapat mendukung perjuangan di Surabaya tahun 1945 , tetapi PETA membiarkan senjatanya dilucuti oleh Jepang, untung ada Pemuda M. Jasin dengan pasukan-pasukan Polisi Istimewanya yang berbobot tempur mendukung dan mempelopori perjuangan di Surabaya.”
- Soetomo (Bung Tomo)




Setelah melucuti tentara PETA dan Heiho, Tentara Jepang juga memerinahkan Kepolisian Indonesia untuk menyerahkan senjatanya namun secara tegas ditolak. Malah kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, untuk membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun organisasi-organisasi pejuang tanah air secara bersama melakukan pelucutan senjata tentara Jepang yang kalah perang. 

Di Kota Surabaya tempat terjadinya Hari Pahlawan, Polisi pernah melaksanakan “Proklamasi Polisi” Dalam ejaan lama yang berbunyi : 

“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”. 

Soerabaja, 21 Agoestoes 1945 
Atas Nama Seloeroeh Warga Polisi 
Moehammad Jasin – Inspektoer Polisi Kelas I 

Proklamasi Polisi itu merupakan suatu tekad anggota Polisi untuk berjuang melawan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap, walaupun sudah menyerah. Proklamasi itu juga bertujuan untuk meyakinkan rakyat bahwa Polisi adalah aparat negara yang setia kepada Republik Indonesia yang berjuang bersama rakyat dan bukanlah alat penjajah. 

Segera setelah itu, Polisi Istimewa bersama-sama rakyat menyerbu seluruh gudang-gudang senjata tentara Jepang. Tentara Jepang yang amat terdesak akhirnya menyerah dan harus menandatangani perjanjian penyerahan senjata dengan M. Jasin sebagai wakil dari pihak Indonesia untuk menjamin keselamatan jiwa tentara Jepang yang menyerah. 

Dalam pertempuran-pertempuran melawan tentara Jepang, Abdul Radjab ex TRIP, pelaku 10 Nopember 1945, menyatakan : 
“Pasukan-pasukan Polisi Istimewa bertempur melawan Tentara Jepang dengan gagah berani” 

Pada suatu waktu setelah tembak-menembak yang sengit dan menelan korban jiwa, M. Jasin yang bersama Soetomo (Bung Tomo) yang mewakili pihak Indonesia berhasil menandatangani perjanjian penyerahan senjata untuk membuka gudang Arsenal tentara Jepang yang terbesar se-Asia Tenggara di Don Bosco-Sawahan, Surabaya. 

Berkaitan dengan kejadian pelucutan senjata tentara jepang tersebut, Jenderal TNI Muhammad Wahyu Sudarto – Pelaku 10 November 1945, menyatakan:

Saya hanyalah bagian dari sejarah perjuangan tanah air. Itu pun Cuma di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Sebetulnya pada “Peristiwa Surabaya” ada tokoh yang lebih hebat tetapi di mana kini tidak banyak yang kenal. Namanya Moehammad Jasin, orang Sulawesi Selatan. Jika beliau tidak ada, Surabaya tidak mungkin seperti sekarang. Beliau adalah Komandan Pasukan Polisi Istimewa. Kalau tugas Bung Tomo adalah “memanas-manasi rakyat”, Pak Jasin ini memimpin pasukan tempur. Kesatuannya boleh dibilang kecil, cuma beberapa ratus orang saja. Itu sebabnya mereka bergabung dengan rakyat. Kalau rakyat sedang bergerak, di tengah-tengah selalu ada truk atau panser milik Pasukan Polisi Istimewa lengkap dengan senjata mesin. Melihat Rakyat bak gelombang yang tak henti-henti itu, Jepang yang waktu itu sudah kalah dari Pasukan Sekutu menyerah kepada RI dan intinya adalah Pak Jasin.
Demikian pula kala Inggris (Sekutu) mendarat di Surabaya. Bila tidak ada Pak Jasin, arek-arek Suroboyo tidak bisa segalak itu. Pasukan Inggris datang pertama kali dengan satu brigade pada 28 Oktober 1945. Namun, setelah mereka terdesak, secara bertahap mendarat lagi empat brigade”
(JENDERAL TNI MUHAMAD WAHYU SUDARTO – PELAKU 10 NOVEMBER 1945)

Senjata Rampasan yang direbut dari tentara Jepang tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat dan pemuda dalam organisasi perjuangan. Segera setelah itu, Surabaya dibanjiri senjata api dari berbagai jenis yang digunakan untuk menghadapi pasukan Inggris dan Belanda pada peristiwa Hari Pahlawan.

Tindakan yang dilakukan oleh Polisi tersebut membuat Jendral (TNI) Tri Sutrisno, Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengatakan,
Tindakan Inspektur I Moehammad Jasin untuk mempersenjatai Rakyat Pejuang telah memberikan andil yang cukup besar dalam gerak maju para pejuang kemerdekaan di Surabaya, yang kemudian mencapai puncaknya dalam pertempuran heroik di Surabaya tanggal 10 Nopember 1945”.

Selain mempersenjatai rakyat pejuang, Polisi Istimewa juga melakukan gerakan pembinaan kemiliteran dan pelatihan tempur untuk menghadapi pasukan sekutu. Hal ini secara langsung sangat berpengaruh hingga tersusunnya kesatuan-kesatuan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR),  cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). 

Dari gerakan pembinaan kemiliteran dan pelatihan tempur tersebut membuat Jenderal TNI / AD Sukanto Sayidiman menyatakan, "Pak Jasin dan Pasukan Polisi Istimewa adalah guru dan pelatih kami."


Kepeloporan Polisi Istimewa di Surabaya tersebut juga membuat DR. H. Ruslan Abdulgani mengatakan, “M. Jasin dan Polisi Istimewa yang dipimpinnya adalah modal pertama perjuangan di Surabaya.”

Pernyataan itu menunjukkan bahwa jika pertempuran itu berlangsung tanpa dukungan dan kepeloporan Pasukan Polisi Istimewa, niscaya patriotisme perjuangan rakyat di Surabaya tidak akan seheroik apa yang tercatat dalam sejarah.

Namun entah mengapa peran Polisi tersebut tidak pernah diungkit-ungkit dalam sejarah hari Pahlawan. Padahal kepeloporan Polisi Istimewa pada 10 November 1945 bahkan membuat Jenderal (TNI) Moehammad Wahyu Soedarto, seorang tokoh yang terlibat dalam persitiwa heroik hari pahlawan, berani mengatakan bahwa “Tanpa peran M. Jasin dan Pasukan Polisi Istimewa tidak akan ada peristiwa 10 November.”


Oleh Karena itu, Pangab RI, Jenderal (TNI) Tri Surtrisno dalam pidato peresmian Monumen Perjuangan Polisi Republik Indonesia di Surabaya pada tanggal 2 Oktober 1988 menyampaikan, “Kekuatan Pasukan Polisi Istimewa pimpinan M. Jasin harus dikaji oleh seluruh bangsa Indonesia.”

Keterlibatan M. Jasin sebagai pasukan Polisi Istimewa dalam peristiwa heroik hari pahlawan jelas tidak diingkari oleh semua tokoh pejuang yang terlibat. Bahkan seorang Jenderal TNI AD, Abdul Kadir Besar SH, juga menyatakan, “Saya berani mempertanggungjawabkan pemberian kedudukan bagi Moehammad Jasin sebagai Singa Pejuang Republik Indonesia berdasarkan jasa-jasanya.”

Kehebatan Pasukan Polisi Istimewa dalam kancah perjuangan Surabaya bukan hanya dikagumi kawan tapi juga disegani oleh lawan. Hal ini terdapat dalam pernyataan resmi dari Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (Ministerie van Onderwijs en Wetenschappen) Pemerintah Belanda, oleh Van der Wall
De Poelisi Istimewa, de gewezen Poelisi Istimewa guderende de Japanse tijd, onder leiding van M. Jasin is niets anders dan een Militaire strijd kracht.” (Polisi Istimewa, Mantan Polisi Istimewa diwaktu Jepang, pimpinan M. Jasin tidak lain adalah satu kekuatan tempur militer).
Begitu hebatnya para pendahulu POLRI jangan sampai kita melupakan perjuangan POLRI di awal kemerdekaan RI tersebut sebagaimana kata mendiang Bung Karno, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah (Jasmerah)". 

Perjuangan para Pendahulu POLRI ini juga harus menjadi teladan bagi generasi-generasi POLRI selanjutnya dan saat ini dengan terus memohon petunjuk dan bimbingan Allah SWT dalam melanjutkan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara.

Sumber :
Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang
Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia
Diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2010


Selasa, 06 Oktober 2015

Briptu Victor Penjaga Merah Putih di Perbatasan Papua

 Menjaga kedaulatan negara di perbatasan, tak cuma dilakukan TNI. Banyak kisah menarik yang juga dialami para anggota kepolisian. Seperti yang dilakukan Kepala Kepolisian Sub Sektor (Kapolsubsektor) Oksamol Briptu Victor Merani.

Beberapa waktu lalu, pengibaran bendera Papua Nugini di Kampung Tomka dan Kampung Autpahik mengejutkan Briptu Victor. Sebabnya, bendera itu berkibar masih di dalam wilayah Indonesia dekat perbatasan Papua Nugini.


Setelah mendengar itu, Victor langsung berkoordinasi dengan pemda dan pemimpin adat setempat. Diputuskan untuk berangkat ke lokasi bersama kepala distrik, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan tokoh perempuan untuk melihat secara langsung Kampung Tomka dan Kampung Autpahik.

Perjalanan ini memakan waktu selama empat jam. Viktor dan rombongan harus melalui medan pegunungan, sungai yang tertutup salju serta hutan rimba. Fasilitas dan peralatan yang dibawa pun sangat terbatas.

Namun, jauhnya perjalanan ini tak membuat Viktor dan rombongannya menyerah begitu saja. Semangatnya untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia terus membara.

Setelah empat jam, Viktor dan rombongan tiba di puncak Gunung Taehikin, Setelah mengibarkan merah putih, mereka langsung bergerak di Kampung Tomka dan Kampung Autpahik.



Di kampung itu, Viktor mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari warga kedua kampung tersebut. Mereka mengancam dan mengajak perang. Namun, ancaman itu tak digubris, Viktor tetap menghadapi kemarahan warga dengan tenang.

Dalam pertemuannya dengan warga setempat, Viktor menjelaskan batas-batas wilayah RI dan menyatakan kampung mereka masuk ke dalam NKRI. Pendekatan dan penjelasan ini ternyata mampu meredam emosi warga PNG yang tinggal di perbatasan Indonesia. Dengan sukarela, mereka menurunkan bendera tersebut dan merah putih kembali berkibar.

Tindakan yang dilakukan Viktor ini mendapatkan apresiasi dari Kapolres Pegunungan Bintang. Meski bertugas di daerah terpencil dan seorang diri, Viktor tak pernah mengeluh dan tetap menjalankan tugasnya menjaga kedaulatan NKRI.

Rabu, 30 September 2015

Kepolisian, Kesatuan Tertua di Indonesia


Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di Indonesia yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Kesatuan ini tergolong kesatuan yang paling tua di nusantara kalau dilihat dari sejak pertama didirikannya. Berdasarkan sejarah, kesatuan ini bahkan sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia.

Sejak Abad ke-7 Masehi, tugas-tugas Kepolisian sudah dikenal namun masih bersifat tradisional yang dilaksanakan oleh pasukan keamanan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sebutan Bhayangkara digunakan oleh pasukan keamanan kerajaan Majapahit. 
Pasukan Bhayangkara pada masa Kerajaan Majapahit

Perjalanan panjang Kepolisian Negara Republik Indonesia kemudian dimulai sejak 11 Februari 1814. Pada masa Pemerintahan Gubernur Jenderal Inggris, Stanford Raffles (1811-1817), itulah untuk pertama kalinya keluar Peraturan tentang Tata Usaha Justisi pada Pengadilan Daerah di Pulau Jawa dan Tata Usaha Kepolisian.

Pada tahun 1817 terjadi pengalihan kekuasaan Inggris kepada Belanda. Peralihan itu ikut mengubah struktur organisasi Kepolisian. Negeri Belanda mengusulkan struktur organisasi kepolisian di tanah jajahan Hindia Belanda disempurnakan, baik yang menyangkut bidang pimpinan, pendidikan, kepangkatan maupun perlunya diikutsertakan orang-orang pribumi dalam tugas-tugas kepolisian. 

Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897 - 1920 adalah merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini. (id.wikipedia.org)

Pentas sejarah mulai berubah dalam Perang Dunia II. Kekuasaan Belanda di Indonesia jatuh ke tangan Jepang, tepatnya sejak 9 Maret 1942. Sejumlah Kepala Polisi berkebangsaan Belanda ditawan oleh Jepang dan posisi tersebut digantikan oleh orang-orang Indonesia. Jumlah Polisi yang diserahterimakan dari pemerintah Belanda  pada saat itu adalah sebanyak 31.620 orang.

Kekuasaan Dai Nippon berlangsung singkat, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945 yang puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. 

Setelah dikumandangkannya Proklamasi, di beberapa Kantor Polisi Jakarta secara spontan menurunkan bendera-bendera Jepang dan menggantikannya dengan Bendera Merah Putih. Hari-hari berikutnya Pengibaran bendera merah putih ini  juga diikuti oleh kantor-kantor Polisi di seluruh wilayah Indonesia dan menyatakan diri sebagai Polisi Republik Indonesia. Sehingga secara resmi kepolisian menjadi Kepolisian Indonesia yang merdeka.

Karena di awal kemerdekaan masih belum ada kesatuan bersenjata maka Kepolisian diberikan tanggung jawab untuk menjaga keamanan Republik Indonesia yang baru lahir ini. Untuk mengukuhkan kedudukan Kepolisian di Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945, memasukkan Kepolisian dalam lingkungan Departemen Dalam negeri yang diberi nama Djawatan Kepolisian Negara (DKN)

Kepolisian yang sudah ada sejak awal kemerdekaan sebelum lahirnya kesatuan bersenjata lainnya ini membuat DR. H. Ruslan Abdulgani eX TRIP dan tokoh pejuang yang turut berperan aktif dalam Palagan 10 November 1945 menyatakan "Pasukan Polisi Istimewa lahir lebih dulu dari yang lain". 
 
Pada tanggal yang sama yaitu 19 Agustus 1945 Jepang  membubarkan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho sedangkan senjata mereka dilucuti sehingga pada awal kemerdekaan cuma kesatuan Polisi yang memiliki senjata. Hal ini dilakukan Jepang karena setelah kalah perang, tentara Jepang di Indonesia mendapat perintah dari Sekutu untuk menjaga satusquo sampai kedatangan Sekutu di Indonesia.

Kepolisian Indonesia juga diperintahkan Jepang untuk menyerahkan senjatanya namun secara tegas ditolak. Malah kondisi tersebut dimanfaatkan oleh Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, untuk membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun organisasi-organisasi pejuang tanah air secara bersama melakukan pelucutan senjata tentara Jepang yang kalah perang.

Kesatuan Polisi Istimewa di Surabaya Pimpinan M. Jasin boleh dibilang kecil, cuma beberapa ratus orang saja, itu sebabnya mereka bergabung dengan rakyat. Kalau rakyat sedang bergerak, di tengah-tengah selalu ada truk dan panser milik Pasukan Polisi Istimewa lengkap dengan senjata mesin. melihat rakyat bak gelombang yang tak henti-henti itu, akhirnya tentara Jepang setuju menyerahkan seluruh persenjataan, termasuk tank dan panser kepada Polisi Istimewa. 

Senjata Rampasan tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat dan pemuda dalam organisasi perjuangan. Selain itu, Polisi Surabaya juga giat melatih perang para pemuda dan rakyat dalam menghadapi serangan tentara sekutu. 


Jenderal (TNI) Tri Sutrisno menyatakan, "Tindakan Inspektur I Moehammad Jasin mempersenjatai Rakyat Pejuang telah memberikan andil yang cukup besar dalam gerak maju para pejuang kemerdekaan di Surabaya, yang kemudian mencapai puncaknya pada pertempuran heroik di Surabaya tanggal 10 Nopember 1945." 

Mempersenjatai rakyat pejuang sekaligus gerakan pembinaan kemiliteran dan pelatihan tempur yang dipelopori oleh Kesatuan Polisi Istimewa ini secara langsung sangat berpengaruh hingga tersusunnya kesatuan-kesatuan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). 

Dari pembinaan kemiliteran dan pelatihan tempur tersebut membuat Jenderal TNI / AD Sukanto Sayidiman menyatakan, "Pak Yasin dan Pasukan Polisi Istimewa adalah guru dan pelatih kami."



Setelah peristiwa 10 Nopember 1945, dalam perkembangan selanjutnya, pada tanggal 1 Juli 1946, berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 11/SD Tahun 1946, Kepolisian beralih status menjadi Jawatan tersendiri yang mulanya di bawah Departemen Dalam Negeri sekarang menjadi langsung di bawah Perdana Menteri. 

Peristiwa ini dianggap penting oleh kalangan Kepolisian sehingga tanggal 1 Juli diperingati setiap tahun sebagai Hari Kepolisian. Jadi penetapan tanggal ini sebagai Hari Kepolisian bukanlah berdasarkan atas lahirnya Polri, karena Polri sudah ada sejak lama.

Pada Agresi Militer Belanda, karena pengaruh situasi revolusi fisik untuk menentang Kolonialis Belanda yang ingin menjajah kembali tanah air Indonesia akhirnya dikeluarkan Penetapan Dewan Pertahanan tanggal 1 Agustus 1947 No. 112 tentang Militerisasi Kepolisian Negara. Pada masa itu Kepolisian diintegrasi ke dalam ABRI untuk sementara waktu untuk bersama-sama berjuang melawan Kolonialis Belanda.

Setelah Agresi Militer Belanda berhasil dilalui, Pembicaraan tentang Integrasi Polri ke dalam tubuh ABRI semakin gencar di tahun 1960 - 1964 karena pada waktu itu Partai Komunis Indonesia (PKI) selalu memprovokasikan adu domba antar Angkatan-Angkatan Bersenjata untuk kepentingan partainya.

Integrasi Polri ke dalam ABRI semakin jelas setelah ditetapkannya Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara menjadi Angkatan Bersenjata. Ketetapan MPR tersebut kemudian dipertegas dengan Penetapan DPR-GR, tanggal 19 Juni 1961 tentang Undang-Undang Pokok Kepolisian No. 13/1961. Pada Pasal 3 UU tersebut menyatakan, bahwa Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata. 

Untuk meningkatkan integrasi ABRI, dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.

Pengaruh Integrasi penuh ini ada segi positif dan negatifnya. Segi positifnya adalah mencegah perpecahan antar Angkatan sedangkan segi negatifnya adalah sikap dan perilaku anggota Polri banyak diwarnai militer sehingga penampilannya lebih seperti militer dibandingkan sebagai penegak hukum. Sikap semacam ini yang selalu dibahas dalam upaya perlunya Polri dipisahkan kembali dari ABRI.

Sejak Bergulirnya proses reformasi di Indonesia, terjadi banyak perubahan yang cukup besar, ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru, digantikan oleh pemerintahan Reformasi, kebebasan pers, hukum, kebebasan mengeluarkan pendapat dan lain-lain.

Di tengah maraknya tuntutan masyarakat di era reformasi, kalangan masyarakat juga menghendaki dipisahkannya Polri dari ABRI dengan harapan agar Polri menjadi lembaga yang profesional dan mandiri jauh dari intervensi dalam menegakkan hukum. Akhirnya sejak tanggal 1 April 1999, Polri secara resmi dipisahkan dari ABRI dan sebutan ABRI diganti menjadi TNI.

Pemisahan kembali antara Polri dan TNI pada tanggal 1 April 1999 inilah yang terkadang disalahmengerti oleh orang yang belum mempelajari sejarah dengan menyebutkan bahwa TNI adalah saudara tuanya Polri. Padahal Polri sudah ada di Indonesia sejak lama bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kemudian sejak awal kemerdekaan, hanya Polisilah yang waktu itu merupakan satu-satunya kesatuan bersenjata yang relatif lengkap dan terorganisir sehingga menjadi modal awal dalam mempertahankan kemerdekaan serta membantu lahirnya kesatuan bersenjata lainnya di tanah air.

Dalam perkembangan paling akhir dalam Kepolisian yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan tetapi juga terlibat dalam masalah-masalah keamnan dan ketertiban regional maupun antar bangsa sebagaimana yang ditempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan Polisi, termasuk Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai operasi Kepolisian Dunia, misalnya di Namibia (Afrika Selatan), Kamboja (Asia), dan Darfur (Sudan).

SUMBER :

1. Buku Berjudul Setengah Abad Mengabdi diterbitkan oleh Mabes ABRI tahun 1996.

2. Buku Berjudul Sejarah Kepolisian Di Indonesia diterbitkan oleh Mabes Polri tahun 1999

3. Buku Berjudul Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang, Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama tahun 2010.

4. Website : https://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia

Rabu, 16 September 2015

Brimob Pemilik Pakaian Loreng Pertama di Indonesia

Pada tahun 1950-an, Kesatuan-kesatuan Mobile Brigade aktif mengatasi berbagai gejolak yang bercorak pemberontakan melawan pemerintah yang sah ataupun berupa gerombolan bersenjata di seluruh Indonesia. Komisaris Polisi Tingkat I Moehammad Jasin yang pada saat itu sebagai Panglima Korp Mobile Brigadir Indonesia giat melaksanakan pembenahan organisasi dan pembinaan keterampilan dan kemampuan kesatuan MB untuk mengatasi berbagai gerakan pengacau keamanan tersebut. 

Pada tahun 1953, Beliau mengirimkan kader MB untuk mengikuti pendidikan dan latihan “Rangers” di Filipina. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa para kader MB dapat belajar banyak dari keberhasilan pasukan Rangers Filipina dalam menumpas gerombolan bersenjata yang menamakan dirinya “Hukbalahap” di Negara itu. Karena berhasil mengatasi pemberontakan, metode ini dipandang ampuh dan patut dipelajari serta dijadikan pedoman untuk menanggulangi gerakan serupa di tanah air. 

Setelah mengikuti pelatihan di Filipina, pasukan Mobile Brigade melakukan satu latihan uji coba di pegunungan Cirebon yang rawan dengan gerombolan pengacau bersenjata. Satu regu pasukan MB dikirim dipimpin oleh Andi Abdulrachman, seorang kader MB yang telah mengikuti pendidikan dan latihan Rangers di Filipina. 

Pasukan tidak berseragam mulai bergerak pada siang hari untuk melakukan penyelidikan lokasi gerombolan dan tempat persembunyian pimpinannya. Setelah berhasil mengetahuinya, pada malam hari dilancarkan penyerbuan mendadak dan segera menghilang. Gerakan ini berfungsi sebagai perang urat saraf guna menciptakan kekalutan dan kebingungan di pihak gerombolan. Dalam gerakan ini, pasukan MB berhasil membunuh pimpinan gerombolan sehingga anak buahnya kocar-kacir dan masing-masing menyelamatkan diri. Dalam waktu singkat, daerah pegunungan Cirebon dinyatakan bersih dari gerakan pengacau bersenjata. 

Keberhasilan uji coba itu menggugah hati pihak kementerian keamanan sehingga Panglima MB, Moehammad Jasin diminta mendirikan pendidikan Ranger. Atas usul itu, didirikan satu pusat pendidikan dan latihan Rangers di Lido (Bogor). Di tempat ini, dibangun satu asrama yang diperuntukkan bagi kesatuan kader-kader MB alumni dan pelatihan Rangers di Filipina. 

Berdasarkan keterangan M. Jasin dalam buku berjudul Memoar Jasin sang Polisi Pejuang mengatakan bahwa "kesatuan yang lebih dikenal dengan sebutan Batalyon Rangers ini mengenakan seragam militer loreng dan menggunakan tanda-tanda pangkat lapangan yang lengkap.  Pasukan inilah yang pertama kali menggunakan pakaian militer loreng di Indonesia."

Pendidikan Rangers ini mendapat perhatian besar dari berbagai pihak, pihak sipil maupun pihak militer di Indonesia mengirimkan anggota pasukannya untuk mengikuti pendidikan dan latihan ini. 

Peningkatan jumlah anggota batalyon Rangers yang telah mengikuti pendidikan dan latihan membuat status Batalyon Rangers berubah menjadi Resimen Rangers. Kemudian Pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengganti nama kesatuan ini menjadi Resimen Pelopor (Menpor). 

Alumni pendidikan dan latihan Ranger disalurkan ke batalyon-batalyon MB yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk itu, dibuka lagi satu pusat pendidikan dan latihan MB yang berintikan Rangers di Porong, Watukosek, Jawa Timur. Pembukaan pusat pendidikan dan latihan ini semakin memperkuat kesatuan-kesatuan MB dalam mengatasi dan menumpas setiap gerakan pengacau keamanan Negara. 

Namun, entah untuk kepentingan dan keputusan politik seperti apa sehingga Menpor resmi dibubarkan pada tahun 1972. Padahal pasukan elit Polri ini sudah banyak memberikan darma baktinya di berbagai tugas penting guna kelangsungan Negara Republik Indonesia, bahkan Menpor juga mempunyai andil besar dalam operasi Dwikora dan Trikora. 

Sebagian sejarah yang mengisahkan tentang sepak terjang Detasemen Pelopor mulai dari kelahiran hinggah dibubarkan ada ditulis dalam buku berjudul, “Resimen Pelopor, Pasukan Elit Yang Terlupakan”. Penulis belum mendapatkan buku ini dan semoga penulis dapat berkesempatan membaca tulisan dalam buku ini.


Sumber : 
Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang 
Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia 
Diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2010

Rabu, 09 September 2015

Pak Harto Alumni Kepolisian


Tak banyak yang mengetahui bahwa Mantan Presiden Republik Indonesia, Soeharto, sebenarnya pernah menjadi Polisi. Bahkan Karier beliau sebetulnya justru dimulai dari Polisi. Lebih dari itu, sesuai dengan pengakuan Pak Harto sendiri dalam otobiografinya, "Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya," Beliau dapat lulus menjadi PETA karena sebelumnya sudah lebih dahulu memperoleh dasar-dasar kemiliteran sewaktu menjadi Polisi. Dengan demikian secara tidak langsung jajaran Polisi sesungguhnya ikut berperan mengantarkan salah satu anggota terbaik dalam mengembangkan karier dan menjalankan kehidupan sampai jenjang presiden. 


Kisah Pak Harto masuk Polisi pun cukup unik. waktu itu keadaan Indonesia sedang di bawah penjajahan Jepang dimana semuanya masih serba sangat sulit. Pak Harto bukanlah tipe orang yang cukup berpangku tangan, apalagi sampai menyusahkan orang lain. Maka Pak Harto pun berangkat ke Yogyakarta mengadu untung.

Mula-mula beliau ikut kursus mengetik di Patuk yang kebetulan letaknya tepat berada di depan asrama Polisi. Pada suatu hari dia membaca pengumuman bahwa Polisi (Keibuho) menerima anggota baru. Setelah sempat agak ragu-ragu akhirnya beliau memberanikan diri mendaftar. Dari sanalah beliau kemudian berhasil menjadi kader sersan nomor satu.

Sejarah menunjukkan, Pak Harto juga mempunyai bakat dan kemampuan yang sangat tinggi untuk menjadi Polisi. Catatan sejarah memang memperlihatkan, sebagai anggota Polisi, Pak Harto mempunyai prestasi yang bagus. Ketika mulai masuk pendidikan sebagai kader sersa, sebetulnya beliau masih terkena penyakit malaria, padahal dia harus menjalan ilatihan keras selama tiga bulan, baik fisik, mental maupun pikiran.

Tapi apa yang kemudian terjadi? dalam keadaan ini yang luar biasa adalah Pak Harto berhasil meraih predikat lulusan paling baik. "Malahan saya lulus nomor satu"/ Katanya dalam biografi beliau. Berangkat dari prestasi sebagai lulusan nomor satu itu Pak Harto diberikan tugas untuk hilir-mudik. Bahkan beliau pun lantas ditugaskan untuk belajar Bahasa Jepang.

 (Skep pengangkatan dan gaji Pak Soeharto sebagai Polisi)

Bakat dan kemampuannya tidak luput dari pengamatan para opsir Jepang. Itulah sebabnya Kepala Polisi Jepang menganjurkan kepada Pak Harto agar beliau masuk PETA. Maka Pak Harto pun ikut saringan untuk jadi anggota PETA. Sekali lagi di sini Pak Harto membuktikan keunggulan dirinya. Dari seluruh pelamar yang berasal dari Yogyakarta, dimana waktu itu Pak Harto tinggal, ternyata hanya beliaulah satu-satunya calon yang diterima berasal dari anggota Polisi. Mengenai hal ini Pak Harto mengatakan, "Memang bisa dimengerti pula karena saya sudah mempunyai dasar pendidikan militer, sehingga saya tidak menemukan kesulitan dalam mengikuti ujian itu."

Menurut mayor Jenderal Polisi (Purn) M. Yassin, Pak Harto pada tahun 1948 pernah hadir dalam HUT Bhayangkara di Yogyakarta. Waktu itu Pak Harto, kata M. Yassin, datang dengan pakaian militer. Namun foto Pak Harto berseragam Polisi sampai sekarang masih belum ditemukan. Dari beberapa saksi yang pernah mengetahui Pak Harto sewaktu menjadi Polisi, diantaranya Y. Supatman (terakhir Kapten Polisi) yang pernah menjadi sopir beliau, dan mantan Lurah Kemusuk, Soewito (yang kebetulan kakak Pak Harto) ternyata juga tidak ada yang memiliki dokumentasinya.

Selasa, 01 September 2015

Polisi yang Mampu Lacak Identitas Mayat Berkat Alquran


Ilmu forensik adalah ilmu yang berkutat pada visum dan autopsi mayat. Namun seorang perwira polisi mampu mensinergikan ilmu forensik dengan sejumlah ayat yang ada dalam kitab suci Alquran. Seperti apa?


Ya, dia adalah Aiptu Wazir Arwani Malik, seorang Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Tengah. Perwira yang kesehariannya berkutat di dunia forensik ini mampu mengaplikasikan ayat Alquran saat melakukan olah TKP terhadap mayat.

Pria yang lahir dan dibesarkan oleh keluarga santri di Ponpes Girikusuma, Mranggen Demak, Jawa Tengah itu, kerap mengaplikasikan Surat Yasin ayat 12 dalam tugas forensiknya. Menurutnya pendekatan teologis dalam hal autopsi sangat membantunya dalam memecahkan persoalan forensik yang kerap menjadi tanda tanya.

Apalagi, saat ia harus memecahkan suatu kasus, seperti mayat yang tidak diketahui identitasnya.

"Ilmu forensik itu sudah dibahas dalam Alquran sejak 1.400 tahun lalu. Dalam surat Yasin termaktub, apa yang pernah menjadi perbuatan manusia pasti meninggalkan jejak. Itu yang jadi pedoman saya," terang Aiptu Wazir kepada VIVA co.id di Semarang, Rabu, 6 Mei 2015.

Dalam keyakinannya, tidak ada perbuatan manusia yang tidak meninggalkan jejak. Bahkan suatu benda yang mati bisa berbicara, seperti darah, potongan tubuh, DNA, rambut, pisau bahkan HP.

"Melalui sistem labfor, polisi bisa menggali dalam pengungkapan perkara," papar pimpinan Ponpes Al-Hadi Mranggen Demak itu.

Aspek teologi melalui penafsiran Alquran ini, kata dia, sudah tertulis pasti sejak manusia lahir sampai mati. "Jadi barang bukti itu titik sentral, akan berguna bagi hakim di pengadilan, penyidik, pelaku dan lain-lain, " ujar bapak tiga anak itu.

Dasar itulah yang membuat Wazir selalu tekun dan penuh kesabaran saat bertugas. Karena menurutnya, Alquran bukan sebagai alat ritual saja, melainkan pedoman seluruh aspek kehidupan.

Tak jarang, dalam setiap aktivitas forensik yang sulit, Wazir selalu mendoakan jasad korban, meski masih berupa tulang rambut bahkan organ lain.

"Alquran itu bukan untuk diritualkan, tapi untuk petunjuk, di antaranya pengungkapan perkara seperti tugas seorang polisi. Orang yang saya autopsi saya doakan. Doa itu etika, agar nanti Tuhan beri petunjuk, " beber pria kelahiran Demak, 28 Februari 1968 silam itu.

Bentuk petunjuk dan kemudahan itu bervariatif. Sumber informasi awal bisa diperoleh dari tempat kejadian perkara, misalnya barang yang tertinggal, dari peluru atau lainnya.

Saat berdoa, jelas Wazir, bukan mengirimkan permintaan, namun menyampaikan supaya orang yang belum diketahui identitasnya itu diampuni dosa-dosanya dan ditempatkan di tempat yang layak.


"Kalau jenazah tanpa identitas, jumlahnya sekira belasan," tambahnya.

Di dalam keluarga, Wazir mengungkapkan, bahwa putra putrinya sudah terbiasa dengan tugasnya sebagai polisi. Bahkan, ketiga anaknya sering melihat foto-foto saat autopsi.

"Anak-anak sering buka laptop saya. Mereka tahu dan itu menjadi proses pembelajaran untuk mengetahui tentang anatomi manusia. Dengan harapan mereka bisa mengenal diri, kemudian Tuhannya," beber dia.

SUMBER :

http://m.news.viva.co.id/news/read/622811-polisi-ini-mampu-lacak-identitas-mayat-berkat-alquran

Minggu, 30 Agustus 2015

Jadi Polisi itu Sesuatu

Polisi dipuji namun banyak pula ocehan-ocehan yg masuk kedalam institusi kami, mulai dari yg sedikit seram sampai yang sangat seram, caci maki, sumpah serapah, seakan kami tidak ada ada gunanya, dianggap sampah masyarakat.


Sudah santapan sehari-hari, tapi begitu ada kejadian dimasyarakat, mulai dari suami istri yang bertengkar, maling sepatu, maling ayam, lalu lintas macet, ada orang hilang, ada kakek-nenek lupa rumahnya, kami selalu dicari, mana polisi !!,

Bahkan kami terus disindir kalau hilang barang, kalau masih bisa diatasi jangan lapor polisi, karena ada pemeo, kalau melapor hilang kambing bisa bisa malah hilang sapi...

Kami tahu itu semua, namun kami hanya bisa mengelus dada.

Teman teman kami yang bertugas dilapangan, sebagai polisi lalu lintas selalu disindir dengan istilah prit jigo, damai itu Rp. 20.000,- bahwa polantas selalu menjebak pengendara yg salah masuk rambu-rambu larangan, menjebak rambu / marka garis lurus, pada saat kami mau melakukan tilang, selalu dirayu dengan mohon kebijaksanaan pak, bapak baik deh, kalau cewek bapak Ganteng deh, no hapenya berapa pak.

Kalau yang punya bekingan, mereka mengeluarkan katu nama, mengeluarkan kartu anggota Mitra Polisi, anggota ormas atau menelpon kerabat mereka yang kebetulan juga atasan kami, padahal kami sudah bertugas dari pagi buta, saat teman-teman kami yang lain instansi masih terlelap, kami sudah bersiap-siap dijalan,bahkan banyak belum sarapannya, kalau tejadi sesuatu, bisa bisa kami berdinas dijalanan sampai malam hari, menghirup debu jalanan dan gas buangan CO2, kepanasan dan kadang kehujanan.

Pada saat semua orang tersentak dengan bom yang diledakan teroris, kami dengan segenap kemampuan yang kami miliki, mengabaikan rasa takut terdalam kami sebagai manusia, berjudi dengan bom yang dipasang sekelompok orang yang dinamakan teroris, sejujurnya kami juga takut mati, tapi ini adalah tugas kami.

Pada saat belum terungkap mereka bilang intelijen kecolongan, komentar ini itu, tidak mampu, dsb. Namun pada saat bisa cepat menangkap malah dikatakan rekayasa Polisi, ciptaan Polisi, memelihara lahan Teroris dls..

Pada saat kita disentakan dengan maraknya peredaran narkoba, berapa banyak pula anggota kami yang menyamar menjadi bagian dari sindikat narkoba dan tidak sedikit mereka akhirnya menjadi pencandu juga. Berhari-hari, berbulan-bulan, meninggalkan keluarga untuk tugas, bergulat dengan dunia kegelapan untuk mengurai kejahatan sungguh mempertaruhkan nyawa.

Masyarakat tidak memahami bagaimana sulitnya bekerja seperti itu, jangan salahkan kemudian ada yang stres ada yang kalut, ada yang tidak kuat dalam menjalankan tugas. Beruntung Allah SWT masih mematri iman di dada kami.

Itulah sedikit keluh kesahku, karena kami bukanlah robot yg tanpa makan dan minum. Kami juga memiliki hati yang bisa tersakiti, kami juga memikirkan keluarga, anak dan masa depan.

Kami memang belum sempurna, namun terus berusaha memperbaiki diri, terus berupaya untuk melayani yg terbaik dan tekadku pengabdian yg terbaik..

Jangan kami di label, jangan kami di sama ratakan, krn di instansi kami dan instansi instansi yg lain jg sama sepertiku ada yg baik, dan pasti juga ada yg buruk serta tidak disiplin.