Senin, 30 Desember 2013

Gak Mungkin Masuk Polisi Tanpa Duit

 “Berapa kamu habis untuk masuk Polisi??” 

Inilah pertanyaan yang paling sering dilontarkan orang lain kepada saya terkait profesi saya selaku anggota Polri. Pertanyaan ini bisa dilontarkan baik oleh teman, keluarga, masyarakat bahkan oleh anggota Polri sendiri. Saat saya jawab bahwa saya lulus Polisi gak pakai uang (gratis) sebagian besar tanggapannya bernada ketidak percayaan. 

"Ahh… gak mungkin gak pakai uang", "Gak ada yang gratis di dunia ini", "benar aja kamu gak bayar, kan orang tuamu yang bayar", "pasti kamu punya keluarga atau kenalan orang dalam", dan tanggapan ketidak percayaan lainnya. 

Awalnya saya merasa tersinggung dan amat sakit hati mendengar tanggapan-tanggapan seperti itu, namun kalo saya ingat lagi sayapun dulu juga sempat tidak percaya apakah saya benar-benar lulus jadi Polisi pada saat kelulusan akhir telah diumumkan, padahal saya tidak bayar sepeserpun sebagai uang pelicin. Saking tidak percayanya bahwa saya bisa masuk polisi tanpa sogok, sayapun menyuruh adik saya untuk daftar Polisi, eh… diapun lulus jadi anggota Polri. 

Jadi wajar saja apabila orang menganggap bahwa tidak mungkin seseorang bisa masuk polisi tanpa duit. Saya paham karena sebelum menjadi Polisi, sayapun juga berpikir demikian hingga saya membuktikannya sendiri bahkan sampai-sampai adik saya lulus Polisi baru saya yakin 100 % bahwa apabila Allah SWT menghendaki tanpa sogok/suap/uang pelicin pun kita tetap bisa masuk Polisi. 

Terus kenapa ada Polisi yang mengaku bahwa dia telah membayar sejumlah uang sehingga dia bisa lulus menjadi anggota Polisi hingga saat ini. Nah untuk hal yang satu ini, menurut hemat saya kemungkinan dia sudah tertipu. Sebenarnya dia lulus secara murni namun karena adanya bujuk rayu dari calo bahwa dia harus membayar sejumlah uang untuk bisa lulus maka diapun mengikutinya. Padahal calo tersebut hanya menipunya dan seandainya dia tidak bayarpun tetap bisa lulus.

Soalnya pengalaman saya sewaktu hari-hari menjalani tes penerimaan Polisi ada saja yang menawarkan kepada orang tua bahwa apabila saya ingin lulus harus membayarkan sejumlah uang. Baik dari tetangga hingga dari keluarga sendiri yang mengaku mengenal Polisi A atau Polisi B yang bisa meluluskan tes menjadi Polisi. Namun apa jawaban orang tua saya yang masih saya ingat sampai sekarang, "Anak saya ini daftar Polisi cuma coba-coba saja cari pengalaman daftar kerja, apabila lulus ya Alhamdulillah... kalau gak lulus ya gak apa-apa".

Oleh karena itu, bagi anda yang ingin mendaftar Polisi saya harapkan janganlah anda memulainya dengan cara yang buruk yaitu dengan sogok/suap/uang pelicin/menggunakan jasa calo dll. Pekerjaan sebagai Polisi adalah pekerjaan yang mulia namun apabila anda memulai pilihan hidup anda dengan sesuatu yang buruk maka pada akhirnya akan menghasilkan yang buruk pula. Percayalah bahwa apabila Allah SWT telah menetapkan kita untuk lulus menjadi anggota Polri pasti kita akan lulus walau tanpa sogokan atau suap dan kalaupun kita tidak lulus menjadi anggota Polri kita masih bisa berpikir positif bahwa Allah SWT telah menyiapkan jalan hidup yang jauh lebih baik ketimbang sekedar menjadi anggota Polri.

Bagi para pembaca tulisan ini, Sudah menjadi hak anda untuk mempercayai atau tidak mempercayai suatu tulisan yang anda baca. Apabila anda percaya saya amat bersyukur, namun apabila anda tidak percaya, sayapun tidak meyalahkan dengan tetap mengharapkan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membaca. 

By Briptu Ahmad Ridha 

Artikel terkait :
Masuk Polisi Pakai DUIT
Lulus Polisi dengan Sogok

Kamis, 14 November 2013

Lulus Polisi dengan Sogok


Setiap tahun Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengadakan seleksi penerimaan anggota Polri di sejumlah daerah di tanah air. Perekrutan ini banyak diminati bahkan diidam-idamkan oleh sebagian orang. Minat menjadi anggota polri bermacam-macam mulai dari alasan kesejahteraan dan masa depan hingga kebanggaan mengenakan baju dinas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

Namun hasrat yang tinggi ini kadang disisipi sesuatu yang buruk dengan menghalalkan segala cara agar bisa lulus menjadi anggota Polri, salah satunya adalah dengan sogok / suap ataupun uang pelicin. Yang memperihatinkan, sebagian besar masyarakat menganggap hal ini adalah biasa, padahal ini jelas-jelas telah menyalahi aturan baik dari segi hukum positif yang berlaku di Indonesia maupun dari sudut pandang agama.

Dalam hukum positif pembahasan tentang suap dan ratifikasi selalu dikaitkan antara pemberian dan janji kepada pegawai negeri. Hal ini bisa kita lihat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 31/1999 jo UU No 20/2001, suap didefinisikan setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Dalam buku saku memahami tindak pidana korupsi Memahami untuk Membasmi yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijelaskan bahwa cakupan suap adalah (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Selain hukum positif, dalam pandangan Islampun praktik suap / sogok juga tidak dibenarkan. Beberapa dalil dijadikan landasan hukum ini, salah satunya ayat dalam QS. al-Baqarah: 188). “Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebahagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
           
Nabi Muhamad SAW juga sudah menegaskan dalam hadisnya, “Orang yang menyogok dan orang yang disogok, masuk neraka. (HR Bukhari).”
Juga hadits, Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat/mengutuk orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menghubungkan keduanya.” [HR. Ahmad dalam bab Musnad Anshar radhiyallahu ‘anhum]

Dalam pandangan Islam, pekerjaan yang diawali dengan suap akan selalu mendapatkan gaji haram lantaran diawali dengan suap. Ini dikarenakan ada keterkaitan sebab dan akibat antara risywah (suap) dan gaji. Bayangkan saat orang tua atau keluarga menyogok agar anaknya menjadi Polisi maka maka orang tua tersebut telah menjerumuskan dirinya sendiri dan anaknya keneraka. Gaji yang diterima anaknya tersebut merupakan gaji haram untuk dimakan. Tidak cukup sampai di situ, pada saat dia mulai membangun rumah tangganya sendiri suatu hari nanti maka dia akan memberi makan anak dan istrinya dengan uang haram tersebut.

Sebenarnya mengabdi menjadi anggota Polri adalah pekerjaan yang mulia, namun apabila diawali dengan keburukan maka akan menghasilkan yang buruk pula. Jangan pernah kita kotori pilihan hidup kita untuk menjadi anggota Polri dengan perbuatan kotor seperti suap-menyuap. Percayalah bahwa apabila Allah SWT telah menetapkan kita untuk lulus menjadi anggota Polri pasti kita akan lulus walau tanpa sogokan atau suap dan kalaupun kita tidak lulus menjadi anggota Polri kita masih bisa berpikir positif bahwa Allah SWT telah menyiapkan jalan hidup yang jauh lebih baik ketimbang sekedar menjadi anggota Polri.

Saya sendiri sebagai anggota Polri sangat mengimpikan suatu hari nanti Indonesia memiliki instansi Kepolisian yang semua anggotanya jujur, berwibawa dan berakhlak mulia sehingga dimanapun dia berada membawa berkah dan perasaan aman bagi masyarakatnya. Polri masih bisa berubah menjadi lebih baik lagi.
 
Oleh Briptu Ahmad Ridha

Artikel terkait :
Masuk Polisi Pake DUIT
Gak Mungkin Masuk Polisi Tanpa Duit  

Selasa, 05 November 2013

Tanpa Kepolisian Tiada Hari Pahlawan


“Tanpa peran M. Jasin dan Pasukan Polisi Istimewa tidak akan ada peristiwa 10 November.”

Demikian pernyataan Jenderal (TNI) Moehammad Wahyu Soedarto, seorang tokoh yang terlibat dalam peristiwa heroik 10 November 1945. 10 November 1945 diabadikan dalam sejarah bangsa dan diperingati sebagai Hari Pahlawan. Peristiwa ini terjadi di Surabaya dan di kota Pahlawan ini Polisi pernah melaksanakan “Proklamasi Polisi” Dalam ejaan lama yang berbunyi :

“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”.

Soerabaja, 21 Agoestoes 1945
Atas Nama Seloeroeh Warga Polisi
Moehammad Jasin – Inspektoer Polisi Kelas I

Proklamasi Polisi itu merupakan suatu tekad anggota Polisi untuk berjuang melawan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap, walaupun sudah menyerah. Proklamasi itu juga bertujuan untuk meyakinkan rakyat bahwa Polisi adalah aparat negara yang setia kepada Republik Indonesia yang berjuang bersama rakyat dan bukanlah alat penjajah. Ketika menjadi insiden bendera, 19 september 1945, Polisi Pimpinan Moehammad Jasin bergerak cepat mereka menyatu dengan rakyat. 


Jenderal TNI Muhammad Wahyu Sudarto – Pelaku 10 November 1945, menyatakan :

Saya hanyalah bagian dari sejarah perjuangan tanah air. Itu pun Cuma di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Sebetulnya pada “Peristiwa Surabaya” ada tokoh yang lebih hebat tetapi di mana kini tidak banyak yang kenal. Namanya Moehammad Jasin, orang Sulawesi Selatan. Jika beliau tidak ada, Surabaya tidak mungkin seperti sekarang. Beliau adalah Komandan Pasukan Polisi Istimewa. Kalau tugas Bung Tomo adalah “memanas-manasi rakyat”, Pak Jasin ini memimpin pasukan tempur. Kesatuannya boleh dibilang kecil, cuma beberapa ratus orang saja. Itu sebabnya mereka bergabung dengan rakyat. Kalau rakyat sedang bergerak, di tengah-tengah selalu ada truk atau panser milik Pasukan Polisi Istimewa lengkap dengan senjata mesin. Melihat Rakyat bak gelombang yang tak henti-henti itu, Jepang yang waktu itu sudah kalah dari Pasukan Sekutu menyerah kepada RI dan intinya adalah Pak Jasin.
Demikian pula kala Inggris (Sekutu) mendarat di Surabaya. Bila tidak ada Pak Jasin, arek-arek Suroboyo tidak bisa segalak itu. Pasukan Inggris datang pertama kali dengan satu brigade pada 28 Oktober 1945. Namun, setelah mereka terdesak, secara bertahap mendarat lagi empat brigade”
(JENDERAL TNI MUHAMAD WAHYU SUDARTO – PELAKU 10 NOVEMBER 1945)

Polisi Istimewa (PI) adalah jelmaan  dari CSP (Central Special Police). Apalagi, pada Agustus 1945 itu, hanya Polisi yang masih memegang senjata. Karena, setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, penguasa Jepang di Indonesia membubarkan tentara PETA dan Heiho, sedangkan senjata mereka dilucuti. Soetamo (Bung Tomo), pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang juga salah satu pejuang terkemuka dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, menyatakan :

“PETA diharapkan dapat mendukung perjuangan di Surabaya tahun 1945 , tetapi PETA membiarkan senjatanya dilucuti oleh Jepang, untung ada Pemuda M. Jasin dengan pasukan-pasukan Polisi Istimewanya yang berbobot tempur mendukung dan mempelopori perjuangan di Surabaya.”
- Soetomo (Bung Tomo)

Pasukan Polisi Istimewapun pada saat itu diperintahkan oleh Jepang untuk menyerahkan senjatanya, karena Jepang ditugaskan oleh sekutu untuk menjaga dan memelihara keamanan di Indonesia agar sekutu dengan aman dapat menginjakkan kakinya di bumi Indonesia. Namun secara tegas Polisi menolak perintah tersebut sehinga pada masa itu hanya Polisi yang memiliki persenjataan sedangkan kesatuan lain tidak ada. 


Hal ini juga ditegaskan oleh Jenderal TNI AD SUDARTO ex. TRIP dan pelaku 10 Nop 1945 sbb :

“Omong kosong kalau ada yang mengaku di bulan Agustus 1945 memiliki kesatuan bersenjata. Yang ada pada waktu itu hanya pasukan-pasukan Polisi Istimewa pimpinan M. JASIN, bahkan ia menyatakan bahwa tanpa peran pasukan pasukan Polisi Istimewa dibawah pimpinan M. JASIN tidak akan ada peristiwa 10 Nopember 1945.”
- Jenderal TNI AD SUDARTO ex. TRIP dan pelaku 10 Nop 1945

Pernyataan itu menunjukkan bahwa jika pertempuran itu berlangsung tanpa dukungan dan kepeloporan Pasukan Polisi Istimewa, niscaya patriotisme perjuangan rakyat di Surabaya tidak akan seheroik apa yang tercatat dalam sejarah. Hal itu juga dikuatkan dalam pidato peresmian Monumen Perjuangan Polisi Republik Indonesia di Surabaya yang disampaikan oleh Pangab RI, Jenderal (TNI) Tri Surtrisno pada 2 Oktober 1988,Kekuatan Pasukan Polisi Istimewa pimpinan M. Jasin harus dikaji oleh seluruh bangsa Indonesia.”

Lebih lanjut Jendral (TNI) Tri Sutrisno mengatakan,
Tindakan Inspektur I Moehammad Jasin untuk mempersenjatai Rakyat Pejuang telah memberikan andil yang cukup besar dalam gerak maju para pejuang kemerdekaan di Surabaya, yang kemudian mencapai puncaknya dalam pertempuran heroik di Surabaya tanggal 10 Nopember 1945”.

Persenjataan yang dibagikan oleh Polisi ini didapat dari gudang-gudang senjata tentara Jepang yang diserbu dan direbut secara paksa maupun dengan perjanjian penyerahan senjata dengan jaminan keselamatan tentara Jepang karena mereka sudah amat terdesak hingga menyerah. Dalam perjanjian penyerahan senjata ini, M. Jasin hadir sebagai wakil dari pihak Indonesia dan menjamin keselamatan jiwa tentara Jepang yang menyerah.

Seperti yang tercatat dalam buku Soetjipto Danoekoesoemo, "Hari-Hari Bahagia Bersama Rakyat". Tiga peleton tentara Jepang menyerahkan senjata kepada Polisi Istimewa Seksi I dengan syarat keselamatan mereka dijamin, pada 1 Oktober 1945.

Pada 2 Oktober 1945, di Gedung General Electronics di Kaliasin Jepang menyerahkan senjata setelah terjadi pertempuran sengit dengan Tim Polisi Istimewa di bawah pimpnan Soetjipto Danoekoesoemo. Dalam pertempuran ini tentara Jepang mengeluarkan senjata-senjata mitraliur.



Pada Hari yang sama, M. Jasin yang bersama Soetomo (Bung Tomo) yang mewakili pihak Indonesia berhasil menandatangani perjanjian penyerahan senjata untuk membuka gudang Arsenal tentara Jepang yang terbesar se-Asia Tenggara di Don Bosco-Sawahan, Surabaya. Pelucutan ini diawali dengan perlawanan sengit tentara Jepang. Setelah terjadi tembak-menembak sengit dan menelan korban jiwa barulah Jepang menyerahkan senjata.

Pada akhirnya tentara Jepang menyerahkan seluruh persenjataan, termasuk tank dan panser kepada Polisi Istimewa. Polisi Istimewa kemudian membagi-bagikan senjata tersebut kepada rakyat dan pemuda dalam organisasi perjuangan. Segera setelah itu, Surabaya dibanjiri senjata api dari berbagai jenis yang digunakan untuk menghadapi pasukan Inggris dan Belanda pada peristiwa Hari Pahlawan.


Dalam pertempuran-pertempuran melawan tentara Jepang, Abdul Radjab ex TRIP, pelaku 10 Nopember 1945, menyatakan :

Pasukan-pasukan Polisi Istimewa bertempur melawan Tentara Jepang dengan gagah berani”
- Abdul Radjab ex TRIP, pelaku 10 Nopember 1945



Selain membagikan senjata, Polisi Surabaya juga giat melatih perang para pemuda dan rakyat dalam menghadapi serangan tentara sekutu. Mempersenjatai rakyat pejuang sekaligus gerakan pembinaan kemiliteran dan pelatihan tempur yang dipelopori oleh Kesatuan Polisi Istimewa ini secara langsung sangat berpengaruh hingga tersusunnya kesatuan-kesatuan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dari pembinaan kemiliteran dan pelatihan tempur tersebut membuat Jenderal TNI/AD Sukanto Sayidiman menyatakan, "Pak Jasin dan Pasukan Polisi Istimewa adalah guru dan pelatih kami."

Adanya Kepolisian di Indonesia sejak awal kemerdekaan sebelum adanya kesatuan bersenjata lainnya juga membuat DR. H. Ruslan Abdulgani eX TRIP dan tokoh pejuang yang turut berperan aktif dalam Palagan 10 November 1945 ini mengatakan bahwa "Pasukan Polisi Istimewa lahir lebih dulu dari yang lain".




Keterlibatan M. Jasin sebagai pasukan Polisi Istimewa dalam peristiwa heroik itu jelas tidak diingkari oleh semua tokoh pejuang yang terlibat. Bahkan seorang Jenderal TNI AD, Abdul Kadir Besar SH, juga menyatakan, “Saya berani mempertanggungjawabkan pemberian kedudukan bagi Moehammad Jasin sebagai Singa Pejuang Republik Indonesia berdasarkan jasa-jasanya.”

Penyataan senada diberikan juga oleh seorang tokoh penting peristiwa 10 November 1945, DR. H. Roeslan Abdulgani, yaitu : “M. Jasin dan Polisi Istimewa yang dipimpinnya adalah modal pertama perjuangan di Surabaya.”

Demikian Pula pernyataan Jenderal (TNI) Moehammad Wahyu Soedarto, seorang tokoh yang terlibat dalam peristiwa heroik itu, yaitu : “Tanpa peran M. Jasin dan Pasukan Polisi Istimewa tidak akan ada peristiwa 10 November.”
Kehebatan Pasukan Polisi Istimewa dalam arena perjuangan Surabaya bukan hanya dikagumi kawan tapi juga disegani oleh lawan. Hal ini terdapat dalam pernyataan resmi dari Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (Ministerie van Onderwijs en Wetenschappen) Pemerintah Belanda, oleh Van der Wall
De Poelisi Istimewa, de gewezen Poelisi Istimewa guderende de Japanse tijd, onder leiding van M. Jasin is niets anders dan een Militaire strijd kracht.” (Polisi Istimewa, Mantan Polisi Istimewa diwaktu Jepang, pimpinan M. Jasin tidak lain adalah satu kekuatan tempur militer).
Peran Polisi tidak pernah diungkit-ungkit dalam peristiwa Hari Pahlawan, Padahal Peran Polisi sangat utama dan strategis dimana tanpa Polisi tidak ada yang namanya Hari Pahlawan yang sekarang setiap tahun kita peringati. Masyarakat banyak yang tidak tahu tentang sejarah Polisi bahkan di kalangan Polisi sendiri pun kurang akan kesadaran sejarahnya sendiri. Padahal Bung Karno mengatakan, “Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah (Jas Merah)”.

Sumber :
Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang
Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia
Diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2010

Kamis, 17 Oktober 2013

Polisi yang "disegani" Bukan "ditakuti"


Sama halnya dengan guru dalam pandangan siswa, ada yang didambakan kehadirannya dan ada guru yang sangat tak diharapkan kedatangannya. Guru yang didambakan biasanya guru yang disegani oleh para siswa.

Begitu pula Polisi dalam pandangan masyarakat terutama pengguna jalan. Kita sebagai pengguna jalan cenderung "takut" pada Polisi bila melanggar aturan.

Tapi yang saya temukan faktanya, ada seorang Polisi yang bukan 'Plantas' sangat disegani para pengguna jalan yang melewati depan pasar Induk Cibitung, Bekasi. "Pak Putu" nama yang sangat familiar di telinga supir angkot. Beliau benar-benar turun ke jalan untuk menertibkan jalan walau bukan Polantas. Sikapnya yang tegas terhadap pengguna jalan yang melanggar lalu lintas sangat berbeda dengan kebanyakan Polisi yang saya jumpai. Pernah suatu ketika dia mengusap kepala pelajar SMA yang tidak menggunakan helm. Yang lebih ekstrim lagi dia pernah memegangi kemudi sebuah motor yang memaksa melaju padahal sedang ditahan untuk memberikan kesempatan pada lajur lainnya. Angkot pun tak ada yang "ngetem" bila dia ada disana. ya... teman-teman Pak Putu yang bertugas di depan Pasar Induk pun bertindak hampir sama. Kada ada supir kendaraan besar yang mencoba memberikan sejumlah uang karena telah melanggar ketertiban, tapi Pak Polisi menolaknya.

Semoga "Pak Polisi" lainnya bisa meneladani sikap Pak Polisi di atas, bahwa menjadi yang disegani jauh lebih indah dan mulia.

Oleh Tati Wartati

diambil dari situs :http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/01/15/polisi-yang-disegani-bukan-ditakuti-430670.html

Selasa, 15 Oktober 2013

Penjaga Toko Buku Dan Intel Polisi

Ada cerita menarik yang ditulis oleh seorang penjaga toko buku di blognya http://zenrustam.blogspot.com. Dia menulis bahwa bahkan sebagai seorang Polisi tidak menjadi halangan dalam mempelajari agama Islam. Inilah cerita faktual dari Al Akh Gugus Gustian :

"Ana izin bercerita sedikit, waktu itu malam hari, ana lupa tepatnya kapan, seperti hari biasa, ana menjaga toko buku dan herbal yg bertempat di jantung ibukota…



Semakin malam, pembeli semakin sepi, lantas datang seorang bapak berpakaian rapih, beliau menanyakan kepada kami (penjaga toko) mengenai kitab Syarah Riyadhus Sholihin yg di bahas di Rod...ja oleh Ust Badrusalam, ana kasih pilihan, beliau mau yg di syarah oleh Syaikh Salim bin Ied Al Hilaly atau yg di syarah oleh Syaikh Utsaimin -rahimahullah-

Dia lupa, seketika itu juga dia mengambil HP-nya, dan berkata “Sebentar ana telpon Ust. Badru dulu (kurang lebihnya seperti ini perkataan dia, ana lupa tepatnya)”, langsung dia telpon dan terhubung dan berbicara ke Ust. Badru, singkatnya Ust. Badru memberi pernyataan kalau yg ia bahas itu ialah yg di syarah oleh Syaikh Aalim bin Ied Al Hilaly.

Ya sudah, ana ambilkan kitab tersebut yg ia pesan, ana penasaran, bagaimana ia bisa memiliki nomer telpon Ust. Badru, dan punya akses ke beliau langsung

Setelah ana tanyakan siapa bapak tersebut dan apa pekerjaannya, bagaimana bisa dia seperti itu, dia menjawab dan sambil bercerita..

“Saya anggota kepolisian di bidang reserse dan intelejen, waktu Syaikh Abdurrazaq datang ke Indonesia yg dulu, saya yg mengawal langung beliau –hafidzahullah-, saya bertanya ke pada Syaikh (dan ada bersama saya ust. Badrusalam sebagai penerjemah): "Syaikh apakah boleh jika pemerintah membuat hukum yg tidak ada di dalam al Qur’an dan Sunnah?, seperti lampu merah, menggunakan helm dan lain-lain?"

lalu Syaikh menjawab:
“Boleh jika pemerintah tidak menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah, seperti jika pemerintah memerintahkan untuk berhenti saat lampu merah, maka hal itu bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat, karena jika tidak ada, maka akan bisa menyebaban kecelakaan, dan seperti halnya helm, jika pemerintah tidak memerintahkan untuk tidak memakai helm, maka ini pun akan memudharatkan masyarakatnya, namun ketika pemertintah memberi peraturan yg dapat menggadaikan aqidah kita, seperti mewajibkan merayakan hari raya selain umat islam, maka tidak boleh di ikuti dan jangan dituruti”,

(bapak polisi tadi juga bercerita) :
"Saat saya mau salaman lantas mencium tangan Syaikh, Syaikh dengan cepat menarik tangannya agar tidak dicium oleh saya, saya bertanya ke ust. Badru, mengapa ko syeikh seperti itu, ust. Badru berkata, Syaikh ingin dihormati seperti manusia lainnya, tidak berlebihan, karena Nabi saja tidak ingin dihormati secara berlebihan oleh para sahabatnya".

Pak polisi tadi bilang, beda sama ulama atau kiai di Indonesia, mereka malah menyodorkan tangan ke jama’ahnya untuk menyiumnya.. (ana dan dia juga lainnya sambil tertawa kecil saat pak polisi itu bercerita hal tersebut)

subhanallah!! Wal hamdulillah… begitu arif dan bijaksananya dakwah yg haq ini, ana sampai kaget, karena dia adalah anggota reserse dan intelejen, subhanallah… ini menjadi pukulan keras bagi mereka yg mengganggap dakwah ini adalah WAHABI dan menganggap dakwah ini dengan sebutan TERORRIS,

Pak polisi tadi juga ternyata punya nomer telpon ust. Firanda dan ust. Zainal, dan mungkin punya akses langsung juga ke mereka, subhanallah…

Semoga Allah memudahkan dakwah ini masuk keseluruh pelosok di negeri yg kita cintai ini..

Sekian, pengalaman yg ana ingat, ana memohon ampun kepada Allah bila apa yg ana tuliskan ini memiliki kesalahan, karena mengingat hafalan ana yg kurang baik, ana pun lupa nama bapak polisi tadi, namun ia sempat memberi kartu nama, yg ia berikan ke bos kami, dan ia berkata, "kalau bapak (bos kami) memiliki kesulitan dalam hukum Negara, bapak bisa telpon ke saya.."


SUMBER :
http://zenrustam.blogspot.com/2012/02/cerita-unik-pengalaman-seorang-penjaga.html 
Diposkan oleh Jay pada Hari Rabu tanggal 12 Februari 2012 

Selasa, 10 September 2013

Perkelahian 2 Ibu Muda

"Lapor, pak....! ada dua ibu-ibu muda yang sedang berkelahi di lapangan yang becek. Sudah setengah jam mereka saling mencakar, sampai-sampai baju keduanya robek dan nyaris telanjang".

"Kenapa baru melapor sekarang?" Kata Polisi.

"Soalnya badan mereka sekarang sudah tertutup lumpur, pak!"....*^%$#@ XD 

Selasa, 06 Agustus 2013

Bhayangkari Pendiri Paud dan TK


Berawal dari mengajar kursus anak-anak, ibu Eli (37 th) istri dari Bripka Pol Saifudin (BA Polsek Telanaipura), mengawali kariernya sebagai pendiri  sekolah Paud dan TK Junior di Puri Masurai Jambi Selatan.


Eli terlihat sedang mengajar anak-anak di tempatnya mengajar, terlihat suasana dan ruangan yang dibikin sedemikian rupa untuk membuat suasana belajar dan mengajar untuk anak-anak usia dini. Disana terdapat gambar-gambar kartun, poster-poster abjad dan angka serta perlengkapan mengajar lainnya. Tidak lupa juga terdapat rak buku buat anak-anak mengumpulkan buku hasil pekerjaannya hari itu.


Ibu Eli menceritakan pekerjaan ini berawal waktu dulu dia mengajar kursus bahasa Inggris utnuk anak-anak sekolah Xaverius. Lama-lama dia tertarik untuk membuka usaha mengajar anak-anak usia dini di linkungan tempat tinggalnya.

Dalam menggeluti pekerjaan yang sudah dilakoninya kurang lebih 10 tahun, ibu Eli merasa senang dan gembira, “Saya merasa senang bekerja seperti ini mas, memang di segi materi lebih besar gajinya kalau saya mengajar kursus bahasa Inggris, tapi itu kan saya harus full time dan makan gaji sebab kerja dengan orang lain. Di sini saya usaha sendiri dan bias membagi waktu untuk keluarga, setidaknya ada waktu senjangnya buat keluarga. Dalam mengajar saya tidak sendiri tapi dibantu oleh temen-temen juga. Kalu soal materi memang tidak gede tapi yang penting saya bias membantu anak-anak yang tidak mampu belajar membaca dan berhitung itu sudah kepuasan tersendiri bagi saya.” Imbuhnya.


Ibu Eli mengemukakan kalau dia ingin sekali membuka Rumah Baca ataupun Taman Baca gratis untuk anak-anak. Kendalanya sekarang buku-buku bacaan yang dikumpulkan masih minim, karenanya kami berharap ada donatur yang mau memberikan buku-buku baik baru maupun bekas yang layak baca. Buku-buku tersebut sangat berguna bagi kami untuk  menambah perbendaharaan dan bacaan buku kami.

Sumber : 
Majalah Siginjai
Media Informasi Polda Jambi - edisi 1 tahun XV Februari 2013

Selasa, 30 Juli 2013

Ngajak Balapan

Seorang pemuda kebut-kebutan di jalan, kecepatannya saat itu melampaui dari kecepatan maksimal yang ditetapkan di area tersebut. Seperti pemuda tersebut ingin mencoba kemampuan motor balap miliknya yang baru dibeli.

Polisi yang melihat langsung mengejar pengendara motor tersebut. Pengendara motor terus saja melaju, dia sempat melihat Polisi yang sedang mengejarnya. Nammun dia tetap saja ngebut. Pemuda tersebut berpikir, mungkin itu hanya Polisi yang sedang berpatroli.

Polisi yang mengetahui kalau motor yang dikejar semakin kencang melaju, merasa tak mau kalah, dia tak menyerah dan mengejar pengendara motor itu, Polisi menaikkan gasnya, begitupun sang pengendara. Terlihat mereka saling susul-menyusul.

Setelah melalui pengejaran yang seru, akhirnya pengendara motor itu terpojok dan berhasil dihentikan, Polisipun menegurnya....

"Kenapa anda terus ngebut Pak, saya tadi berusaha untuk mengejar anda, anda telah melakukan pelanggaran lalu lintas,"kata Polisi

"Looohh.... Bapak tadi ternyata mengejar saya tooo....???"jawab pemuda lugu.

"Iyaa... dan justru saudara malah semakin kencang... "

"Yaelah Bapak, kenapa gak bilang dari tadi..?? Saya kira Bapak tadi mau mengajak balapan..."" kata pemuda itu dengan santainya....

"Lhoooo..... waahh... waahhhh...."kata Polisi sambil mengeluarkan surat tilang.

Senin, 01 Juli 2013

Hari Lahir Polri Bukan 1 Juli


Banyak ulasan pakar sejarah yang mengangkat sejarah berdirinya Polri. Salah satunya menyatakan bahwa hari bhayangkara pada 1 Juli 1946 bukan merupakan “hari lahir” Polri karena Polri sudah ada sebelumnya. Lebih unik lagi, Surabaya punya “Sejarah khusus tentang Kepolisian”. Di kota pahlawan ini  Polisi pernah melaksanakan “Proklamasi Polisi”. Dalam ejaan lama, dalam Proklamasi Polisi di tulis:

“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”.

Soerabaja, 21 Agoestoes 1945
Atas Nama Seloeroeh Warga Polisi
Moehammad Jasin – Inspektoer Polisi Kelas I

Sejarah mencatat bahwa menjelang pendaratan armada kapal perang Sekutu di Tanjung Perak Surabaya, 25 Oktober 1945, situasi di kota Surabaya semakin mencekam. Kemarahan rakyat terhadap Indo-Belanda yang membonceng rombongan Palang Merah Internasional (intercross) makin menjadi-jadi. Selain pemuda yang bergabung dalam PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat), Polisi juga mempunyai peran yang cukup menentukan menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Ketika menjadi insiden bendera, 19 september 1945, Polisi bergerak cepat mereka menyatu dengan massa. 


Di Surabaya, selain Polisi Umum, ada Pasukan PI (Polisi Istimewa) yang sangat disegani. PI adalah jelmaan  dari CSP (Central Special Police). Apalagi, pada Agustus 1945 itu, hanya Polisi yang masih memegang senjata. Karena, setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, penguasa Jepang di Indonesia membubarkan tentara PETA dan Heiho, sedangkan senjata mereka dilucuti. Bung Tomo, pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang juga salah satu pejuang terkemuka dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, meyatakan :

“PETA diharapkan dapat mendukung perjuangan di Surabaya tahun 1945 , tetapi PETA membiarkan senjatanya dilucuti oleh Jepang, untung ada Pemuda M. Jasin dengan pasukan-pasukan Polisi Istimewanya yang berbobot tempur mendukung dan mempelopori perjuangan di Surabaya.”
- Bung Tomo

Polisi mempunyai peran yang istimewa dalam masyarakat,kondisi ini dimanfaatkan untuk melakukan pemantapan. Dalam buku Sejarah Kepolisian di Indonesia, disebutkan: “Di Surabaya, Komandan Polisi Istimewa Jawa Timur, Inspektur Polisi Kelas I (Iptu) Moehammad Jasin, memproklamasikan kedudukan Kepolisian pada 21 Agustus 1945.”

Proklamasi Polisi itu merupakan suatu tekad anggota Polisi untuk berjuang melawan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap, walaupun sudah menyerah. Proklamasi itu juga bertujuan untuk meyakinkan rakyat bahwa Polisi adalah aparat negara yang setia kepada Republik Indonesia. Dengan demikian, rakyat dapat melihat bahwa Polisi bukanlah alat penjajah. Jadi, di Surabaya, Kepolisian Republik Indonesia lahir mendahului keberadaan Polisi di Indonesia yang secara resmi ditetapkan sebagai Hari Bhayangkara, 1 Juli 1946.

Asvi Warman Adam, ahli penelitian utama LIPI, di Radar Jogja (1 Juli 2009), pernah menyampaikan bahwa :
“1 Juli sering dianggap sebagai hari lahir Kepolisian. Padahal instansi itu sudah ada sejak Proklamasi Kemerdekaan, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Di Indonesia, tentara, terutama Angkatan Darat (AD), memiliki kesadaran sangat tinggi tentang pentingnya sejarah. ……….. “

Lebih lanjut dia menjelaskan di kalangan Polisi malah kurang akan kesadaran sejarahnya sendiri. Padahal menurut Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya”. Oleh karena itulah makanya sejarah Kepolisian ini masih banyak yang belum tahu bahkan oleh Anggota Kepolisian sendiri.

Sumber :
Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang
Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia
Diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2010

Kamis, 06 Juni 2013

Pergi Pagi Pulang Petang (P4)

Pukul 04.00, saat orang masih tidur lelap dipagi buta, lelaki asal Jogjakarta ini harus sudah bangun dari tidurnya dan bersiap-siap berangkat kerja ke Jakarta.

Inilah salah satu suka duka anggota Polisi yang bertugas di Polda Metro Jaya (PMJ). Seperti yang dilakoni Aiptu M. Ikhsan. Bapak dua anak yang bertugas di bagian verifikasi data Seksi BPKB Dit Lantas PMJ. Ikhsan harus sudah berangkat ke kantor di pagi buta, dimana sebagian masyarakat masih menikmati hangatnya selimut.

Setiap hari berangkat jam 03.30 atau paling lambat jam 04.00 WIB. Maklum ikhsan tinggal di Perumahan Tambun, Bekasi. Supaya tidak telat apel pagi, maka harus berangkat ke kantor pada pagi buta.

Dulu, sebelum punya sepeda motor, ikhsan harus naik angkutan umum untuk pulang pergi ke kantor. Sekitar pukul 05.30, biasanya sudah sampai di kantor. Lalu bersiap-siap untuk mengikuti apel pagi.

Rutinitas ini bagi sebagian orang tentu tidaklah ringan. Selain harus menjaga stamina tubuh, perlu pula sabar menjalaninya. Bagi Ikhsan, pengabdian ini sangat dinikmati dan disyukurinya. Dia tidak pernah mengeluh. Sebab, menjadi Polisi memang sudah pilihan yang diidam-idamkannya sejak kecil.

Pria kelahiran Jogja ini menjadi anggota Polisi sejak 1984. Tak lama kemudian dia langsung ditugaskan sebagai Polisi lalu lintas di PMJ. Di Seksi BPKB, awalnya Ikhsan bertugas di bagian arsip. Tapi sejak empat tahun lalu, tugasnya pindah di bagian verifikasi data.

Kalau ditanya tentang gaji dia menjawab, "Ya... kurang lebih sekitar Rp. 1,8 juta setiap bulan. Itu gaji plus tunjangan. Kalau saya ditanya cukup atau tidak, ya harus dicukup-cukupkan," katanya. Ikhsan tergolong anggota yang masih beruntung. Sebab masih ada anggota lain yang nasibnya kurang mujur. Misal harus jadi sopir angkot untuk menutup kekurangan kebutuhan keluarga.



Pertama kali bertugas di Sat Gasus. bertugas di manapun, katanya, sama saja. Di BPKB, atau di lapangan juga melayani masyarakat. 

Dengan sistem pelayanan BPKB saat ini, Ikhsan ternyata ikut senang. Katanya, ada perubahan yang cukup bagus. Ada kemajuan, baik di bidang fasilitas gedung, pelayanan dan tenaga SDM-nya.

Dia juga tak melewatkan untuk menyimak berita menyangkut Polisi lalu lintas. Secara tidak langsung, dia melihat dan mendengar keluhan dari masyarakat. Dari situlah, secara pribadi bertekad untuk memberi pelayanan kepada masyarakat yang dimulai dari diri sendiri.

SUMBER :
Majalah Jagratara, The Police Magazine
Edisi XXV Desember 2006 



Rabu, 15 Mei 2013

Hasil Otopsi Jenazah

Tiga jenazah dibawa ke ruang otopsi, ketiganya dalam keadaan tersenyum lebar-lebar lalu dokter forensik melaporkan pemeriksaannya kepada Polisi.

Dokter : "Jenazah yang pertama orang Perancis, mati karena serangan jantung ketika ia berkencan dengan pasangannya, maka ia tersenyum puas.

Yang kedua orang Inggris, ia menang lotere lalu minum-minum hingga keracunan alcohol, makanya ia tersenyum senang."

Polisi : "Jenazah yang ketiga bagaimana ? orang mana dia ?

Dokter : "Orang Indonesia, meninggal karena disambar petir."

Polisi : "????.... Tapi kenapa ia tersenyum ?"

Dokter : "Dia kira sedang di foto untuk di upload ke FB."

Wakkakaakakakkakakk    
  

Jumat, 10 Mei 2013

Penjahat Bersenjata Hingga Bajak Laut


Keberhasilan jajaran Kepolisian Polda Sumatera Utara dalam membekuk komplotan penjahat bersenjata yang melakukan penyanderaan di Perairan Selat Malaka Oktober 2006 silam tidak lepas dari peran Iwan Muri yang memimpin langsung operasi pembebasan awak kapal Sanlay-X.

Operasi pembebasan tiga orang sandera tersebut dilakukan tim gabungan yang terdiri dari jajaran satuan 1 Reskrim Polda Sumut, Direktorat Polisi Perairan dan Detasemen Khusus 88 Antiteror.

Lewat Kepemimpinan Iwan, tiga orang sandera, kepala kamar Djoko Santoso, Nahkoda Jakob dan mualim Budi Susilo berhasil dibebaskan. "Alhamdulillah kasus ini bisa diselesaikan dengan baik. Atas doa keluarga kita semua selamat,"kata Iwan Muri.


Iwan adalah kelahiran Surabaya 12 Februari 1977. Lulus Akpol tahun 1998. Darah militer menetes dari sang ayang yang Angkatan Laut. Menikah dengan Polwan Pol Air Ida Maryani dan dikaruniai satu putera.

Tujuh tahun menjadi Polisi perairan, semua laut di Nusantara sudah dijelajahinya, khususnya Selat Malaka. Maka berhadapan dengan berbagai bentuk kejahatan di laut seperti bajak laut misalnya sudah tak asing lagi baginya. Bicara soal keberadaan bajak laut, Iwan melihat di Pulau Sumatera ini mereka memiliki jaringan yang cukup kuat selain itu mereka cukup pintar meloloskan diri dari intaian walah para anggota sudah pura-pura jadi nelayan.

Perbedaan mendasar bertugas di laut dan di darat adalah di laut kendalanya merupakan alam yaitu ganasnya ombak dan cuaca. Sekarang Iwan sudah merasakan tugas di darat namun bukan berarti tidak ingin kembali ke laut. Dimana saja siap ditugaskan.


SUMBER :
Jagratara, The Police Magazine
Edisi XXV Desember 2006